Pages

Thursday 28 March 2013

Diantara kepentingan PENGUASA dan PENGUSAHA ada SERAGAM

Penyerangan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, diduga dilakukan secara terencana.

Menurut  sejumlah saksi menyatakan penyerangan dan penembakan empat tahanan di Penjara Cebongan berlangsung rapi dan cepat karena hanya berlangsung selama 15 menit. Salah satu saksi melihat seorang pelaku terus-menerus melihat jam di tangannya. "Sepertinya dia menjadi time keeper alias penjaga waktu,"

Sekelompok orang bersenjata api laras panjang, pistol, dan granat datang menyerang Penjara Cebongan, Sabtu dinihari lalu. Sekitar 17 orang menerobos penjara Cebongan. Mereka memberondong empat tahanan di sel 5A. Empat tahanan itu adalah Hendrik Angel Sahetapy alias Deki, Adrianus Candra Galaga, Yohanes Juan Mambait, dan Gameliel Yermiayanto Rohi Riwu. Mereka adalah tersangka penusukan sersan satu Sentosa, anggota Komando Pasukan Khusus, di Hugo's Cafe, 19 Maret lalu.

Penyerangan dilakukan sekitar 17 orang, tapi penembakan dilakukan satu orang. "Ini seperti operasi buntut kuda. Yang menerobos banyak, semakin dekat dengan sasaran semakin sedikit,"

Sebuah sumber yang mengetahui peristiwa itu mengatakan, saat diketahui ada 35 orang di sel 5A, salah seorang bersenjata itu bertanya di mana kelompok Deki. "Yang bukan kelompok Deki, minggir!" kata sumber mengutip pernyataan seorang pelaku. Para tahanan lalu memisahkan diri dan tersisa tiga orang. "Tanpa ampun, tiga orang itu langsung diberondong, tanpa penyiksaan," kata sumber. Setelah itu menyusul satu tahanan lagi.

Akhirnya aksi balas dendam terhadap meninggalnya Sersan Satu Sentosa terbalaskan.

Bukti di Lokasi

Tragedi penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, pada Sabtu, 23 Maret 2013, meninggalkan barang bukti selongsong peluru. Kepolisian meyakini itu proyektil dari kaliber 7,62 milimeter.

"Sebanyak 31 selongsong dan 19 proyektil yang ditemukan di lokasi kejadian menunjukkan ukuran peluru 7,62 milimeter," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Yogyakarta, Ajun Komisaris Besar Anny Pudjiastuti.

Pihak militer langsung menyatakan, peluru yang biasa digunakan pada senjata laras panjang itu bukanlah milik TNI. "Setahu saya, itu sudah bukan standar TNI lagi," kata Kepala Badan Intelijen Nasional Marciano Norman di Istana Negara. Dugaan beberapa kalangan, peluru kaliber 7,62 mm biasa digunakan untuk senapan AK-47 buatan Uni Soviet.

Namun belum tentu juga pihak TNI tidak menggunakan senjata dengan kaliber 7,62 mm. Pada Rencana Pengadaan Alutsista Melalui Pinjaman dalam Negeri Tahun 2010-2014, Mabes memesan lebih dari 40 ribu butir kaliber 7,62 mm untuk senapan sniper/runduk. Tidak itu saja, TNI Angkatan Udara juga mencantumkan rencana pengadaan hampir satu juta butir kaliber 7,62 mm.

Peluru kaliber 7,62 mm pun sudah diproduksi oleh Pindad. Menurut situs Pindad, kaliber 7,62 mm disebut mempunyai keistimewaan: andal dan akurasi. Pada situs tersebut, kaliber 7,62 mm dengan kode MU11-TJ tidak saja digunakan untuk senapan AK-47. Tapi juga dapat digunakan untuk senapan Sabhara Rifle Cal. 7.62 x 45 mm/SB1. Senapan ini merupakan varian dari jenis SS1 yang banyak digunakan oleh TNI dan Polri.

Rentetan kasus ketimpangan SOSIAL

Hal ini sudah bisa dipastikan adanya ketimpangan sosial, yang mana banyaknya aparat meninggal atau bertaruh nyawa di tempat hiburan malam.Tidak hanya itu, kita menengok kasus HERCULES di Jakarta, ketika itu permasalahan lahan dan keamanan berbisnis sang pengusaha.

Selain itu ketimpangan antara TNI- POLRI karena adanya indikasi pengusaha bisnis Illegal selalu bersembunyi dibalik baju aparat.Dengan backingan, pengusaha menganggap bisnis mereka aman dari orang-orang yang berbuat nakal ( preman ).

Ada banyak analisa kasus yang bisa kita ungkap dibalik rentetan permasalahan ini.Kasus keamanan Papua yang sering dan berulang terjadi karena dana keamanan semakin kecil pembagiannya atau adanya perebutan lahan di PT. LONSUM -kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan.Kasus terbunuhnya KAPOLSEK yang mendapati bawahannya sedang berjudi dan diteriaki Maling.

Inilah potret ketimpangan sosial yang harus dibenahi, ketika mereka mencari tambahan dibalik seragam diantara kepentingan pengusaha.

Semoga negeri ini bisa kembali damai diantara kepentingan-kepentingan PENGUASA dan PENGUSAHA serta tidak mengorbankan anak bangsa lainnya yang terlena akan gemerlapnya dunia malam.

No comments:

Post a Comment