Pages

Thursday 16 May 2013

PILGUB BALI; PAS atau Pastiketra...?


Pasangan nomor satu Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga dan Dewa Nyoman Sukrawan (PAS) menyalip pasangan incumbent Made Mangku Pastika dan Ketut Sudikerta (Pastikerta) dalam perolehan suara Pemilukada Bali. 

Tak seperti Pilkada-pilkada biasanya, hasil hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei tidak bisa memprediksi pemenang kontestasi politik dalam pilgub di Pulau Dewata itu.
Berdasarkan penghitungan cepat Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Anak Agung Puspayoga dan Dewa Sukrawan (PAS) unggul dengan perolehan 50,31 persen dalam Pemilihan Gubernur Bali (Pilgub Bali) yang dilaksanakan hari, Rabu (15/5/2013). 
Sedangkan, pasangan Made Mangku Pastika dan Ketut Sudikerta (Pastikerta) memperoleh 49,69 persen suara. Perbedaan perolehan suara dua pasangan tersebut tipis, di bawah satu persen.
Peneliti SMRC Deni Irvani menyatakan, tidak dapat diprediksi siapa yang menang dan kalah. Sebab, diperkirakan toleransi kesalahan 1 persen dalam penghitungan.
"Selisihnya di bawah 1 persen, maka perhitungan ini tidak dapat memprediksikan siapa yang menang dan kalah. Makanya semua pihak harus menunggu perhitungan manual dari KPUD Bali. Pilgub Bali akan sangat ketat, selisih di bawah 2 persen," paparnya.

PAS yang diusung PDIP, PKS dan NasDem, unggul di 5 kabupaten dari 9 kabupaten dan kota di Bali. Kabupaten Bangli PAS 52,87 % & Pastikerta 47,13%, Kota Denpasar PAS 61,56 % & Pastikerta 38,44 %, Gianyar PAS 56,53 % & Pastikerta 43,47 %, Jembrana PAS 56,8 % & Pastikerta 43,2 % dan Tabanan PAS 64,39 % & Pastikerta 35,61 %.

Sedangkan Pastikerta unggul di 4 daerah dari 9 kabupaten dan kota di Bali. Kabupaten Badung PAS 45,53 % & Pastikerta 54,47 %, Buleleng PAS 36,18 % & Pastikerta 63,82 %, Karangasem PAS 40,37 % & Pastikerta 59,63 % dan Klungkung PAS 34,07 % & Pastikerta 65,93%.
Terdapat 6.371 tempat pemungutan suara atau TPS yang tersebar. Sementara total jumlah pemilih yang terdaftar sebanyak 2.925.679 yang terdiri dari pemilih laki-laki sebanyak 1.448.287 dan pemilih perempuan sebanyak 1.477.392

Potensi kerawanan dalam proses hasil akhir penghitungan suara ini semoga dapat diantisipasi segenap pemangku kebijakan di BALI. Baik dari elite politik pengusung calon gubernur maupun dari kesadaran warga Bali secara menyeluruh. Masyarakat Bali yang punya budaya dan iklim sosial yang baik akan senantiasa menjaga keamanan dan ketertiban di Bali. Siapapun pemenangnya….

sumber: http://nasional.inilah.com/read/detail/1989437/siapa-menang-pas-atau-pastikerta#.UZR2frWl528


Wednesday 15 May 2013

Bolos...Izin...atau memang tidak ada kolom tandatangan untuk ABSENSI...???


Data kehadiran anggota DPR yang dirilis Badan Kehormatan DPR kemarin cukup mencengangkan. Dari data tersebut, tampak semua pimpinan DPR juga minim hadir dalam rapat paripurna yang digelar pada 2012.

Misalnya saja pada masa sidang III 2011-2012 (9 Januari-12 April 2012), kehadiran Taufik Kurniawan cuma 40 persen, Pramono Anung 40 persen dan Anis Matta 20 persen. Selebihnya, mereka menyampaikan izin.

Pada masa sidang IV (14 Mei-13 Juli 2012), tercatat kehadiran Taufik Kurniawan 10 persen, Marzuki Alie 20 persen, Anis Matta 40 persen, Priyo Budi Santoso 10 persen dan Pramono Anung 20 persen. Selebihnya, mereka juga menyampaikan izin.

Pada masa sidang I (16 Agustus-25 Oktober 2012), kehadiran Taufik Kurniawan tercatat 33 persen, Marzuki Alie 44 persen, Anis Matta 44 persen, Pramono Anung 44 persen dan Priyo Budi Santoso 22 persen. Selebihnya, mereka izin.

Sedangkan pada masa sidang II (19 November-14 Desember 2012), tidak satu pun pimpinan DPR yang kehadirannya di rapat paripurna kurang dari 50 persen.

Menanggapi data BK tersebut, Wakil Ketua DPR Pramono Anung , punya alibi. Dia menjelaskan, pimpinan DPR dan pimpinan MPR memang tidak pernah hadir dalam sidang-sidang komisi.

"Hadir di paripurna hanya saat memimpin," kata Pramono lewat akun Twitternya, Selasa (14/5).

Juga melalui akun Twitter, Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari, menjelaskan nama-nama pimpinan DPR dan MPR memang tidak ada dalam daftar absen.

"Pimpinan mau tanda tangan hadir di mana wong kolom tanda tangan gak ada," ujar politikus Golkar itu.

Merespons data yang menurutnya tidak relevan itu, Hajriyanto mengatakan akan mengklarifikasi hal tersebut ke BK. Dalam data yang dimiliki BK DPR, pada masa sidang I tahun 2012-2013, Hajriyanto hanya menghadiri sidang paripurna sebanyak 22 persen.

Masa sidang ke II di tahun 2012-2013, Ketua DPP Golkar ini juga tercatat hanya menghadiri sidang paripurna sebanyak 25 persen. Sementara masa sidang III dan IV, Hajriyanto hanya menghadiri sidang paripurna sebanyak 30 persen dan 10 persen.

Menanggapi hal itu, Hajriyanto tidak terima dan membela diri. Menurut dia, dalam Tata tertib (Tatib) DPR RI sebagai pelaksanaan UU No 27 Tahun 2009 Tentang MD3, Pimpinan MPR/DPR tidak masuk dalam keanggotaan komisi, pansus, dan alat-alat kelengapan Dewan.

Dia menuturkan, dalam sidang paripurna DPR memang ada daftar absensi kehadiran. Hanya saja dalam daftar absensi tersebut nama-nama pimpinan MPR tidak ada kolom tanda tangan.

"Jadi, para pimpinan MPR memang tidak tanda tangan sama sekali di dalam daftar absensi karena memang tidak ada kolom tanda tangan. Walhasil, mestinya kehadiran pimpinan MPR jika dihitung berdasarkan tanda tangan adalah 0 persen. Sebab, memang tidak ada tanda tangan sama sekali di buku absensi itu," kata Hajriyanto dalam pesan singkat di Jakarta, Rabu (15/5).

Atas hal ini, dia pun mengaku tidak pernah absen sedikit pun dalam sidang paripurna DPR karena tak ada tempat untuk tanda tangan pimpinan MPR.

"Singkat kata, pertanyaannya kami mau tanda tangan di mana wong kolom untuk tanda tangan kehadiran memang tidak ada? Silahkan cek format daftar absensi kehadiran di DPR. Kolom tanda tangan memang kenyataannya tidak ada di daftar absensi itu," tegasnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, sesuai dengan UU dan Tatib MPR/DPR, pimpinan MPR tidak harus menghadiri rapat. Sebab, kata dia, tugas pimpinan MPR melaksanakan protokoler mewakili lembaga. "Tugas protokoler itu seperti menerima tamu pimpinan parlemen negara sahabat, perdana menteri atau presiden negara lain, duta besar, dan delegasi-delegasi dalam dan luar negeri yang silih berganti datang bertamu," ungkap dia.

Oleh sebab itu, dia berpendapat, perlu ada peninjauan ulang dan pembenahan serta perbaikan ketentuan mengenai kehadiran pimpinan MPR/DPR.

"Jika memang harus hadir, maka tugas-tugas protokoler bagi pimpinan MPR haruslah dihapuskan. Di samping itu haruslah disediakan kolom tanda tangan pada daftar absensi (meskipun sudah ada absensi sidik jari secara elektronik). Ini penting agar tidak terjadi fitnah dan proses damaging seperti ini di belakang hari," tandasnya.

Sumber : http://www.merdeka.com/politik/semua-pimpinan-dpr-juga-malas-ngantor.html
              http://www.merdeka.com/tag/d/dpr/hadjriyanto-tidak-ada-kolom-tanda-tangan-untuk-pimpinan-mpr.html

Tuesday 14 May 2013

Saur-manuk, saling tembak, manuver hit and run…


Menjelang tahun pemilu 2014 tensi politik semakin meningkat dan suasana akan semakin panas. Berbagai gerakan dan aneka modus operasi untuk menjatuhkan lawan politik mulai terasa.  Saur-manuk, saling tembak, manuver hit and run…dan segala bentuk lainnya, sadar atau tidak sadar sesungguhnya sudah bergulir setiap harinya. Siapa yang memulai, tak jelas. Politik adalah panglima masih mewarnai irama perjalanan reformasi yang tak kunjung usai. Ketersediaan media dan tehnologi informasi yang semakin dapat diakses menjadikan suasana ini bias kita rekam, ikuti dan rasakan.

Banyak gerakan dilakukan dengan cara menghubungkan sejumlah politisi dengan kasus-kasus yang berbau korupsi. Fitnah dan pembunuhan karakter lebih banyak berperan dengan membentuk stigma buruk melalui kasus korupsi. Stigma jelek terlibat korupsi sama seperti stigma ”kontra-revolusi” di masa demokrasi terpimpin dan stigma ”terlibat PKI” di masa orde baru.

Yang serius dan menjalankan tugas kenegaraan dengan baik bisa saja dipancing dan terpancing untuk melakukan perlawanan, apalagi yang benar-benar menjalankan tugas kenegaraan demi kepentingan diri dan kelompoknya. Sangat mudah untuk bereaksi.
Kasus lama yang terbengkalai bisa dijadikan modal, apalagi kasus yang baru. Banyak contoh kasus yang bisa diinventarisasi. Sampai kapankah?
Pertanyaan yang tepat menurut hemat ‘FABI’  adalah “kepemimpinan macam apa yang dibutuhkan republik ini untuk menyelesaikan masalah secara akuntabel sekaligus menunaikan janji tanpa komplikasi etis, partai dan golongan?”

Kita memiliki banyak pemimpin, namun sedikit dari mereka yang memiliki kepemimpinan. Kepemimpinan bukan sekadar jargon atau ide yang enak diucapkan. Kepemimpinan memiliki konsekuensi praksis yang tidak sederhana. Apalagi ketika kita berbicara soal kepemimpinan politik. Kepemimpinan politik jauh lebih ruwet dari kepemimpinan di bidang lainnya. Kepemimpinan politik menuntut akuntabilitas yang lebih luas dan sublim sebab berhadapan dengan rakyat dengan beraneka kepentingan dan ideologi. Keputusan seorang pemimpin politik, tidak bisa disebandingkan dengan keputusan seorang pemimpin korporat untuk melakukan right sizing demi efisiensi. Keputusan pemimpin politik memiliki dimensi yang lebih tinggi ketimbang efisiensi yakni keadilan. Tidaklah cukup memiliki pemimpin yang dapat menghemat subsidi demi kesehatan anggaran negara. Kesehatan anggaran satu perkara, sementara akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi adalah perkara lain.
Meski mengandung janji dan harapan, segenap kesulitan yang dialami bangsa ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Buat apa APBN yang berlimpah jika korupsi membocorkannya di tengah jalan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi juga tidak membanggakan ketika kualitas hidup mereka yang tunasejahtera tidak mengalami perubahan. Apalagi ketika pertumbuhan tersebut tidak membuat utang luar negeri kita berkurang. Utang yang terus membubung bakal menabung risiko tersendiri bagi generasi penerus republik ini.

Janji dan keluhan yang dimiliki republik ini membutuhkan lebih dari sekadar pemimpin.
Sebagai bahan renungan, Terry Price, seorang profesor ilmu kepemimpinan, mendefinisikan tiga jenis kepemimpinan (Price, 2006, hlm. 65-85). Pertama adalah kepemimpinan yang berkeutamaan. INTEGRITAS adalah salah satu keutamaan kardinal yang perlu dimiliki pemimpin. Pemimpin harus memiliki integritas sebagai disposisi yang stabil dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Tanpa itu, pemimpin hanya akan diombang-ambingkan oleh situasi dan persepsi publik. Tanpa integritas, pemimpin bakal dikendalikan oleh lembaga survei yang merekam setiap jengkal pendapat publik terhadap keputusan yang (bakal) diambil. Pemimpin akhirnya hanya mengambil keputusan yang menyenangkan orang banyak. Padahal, apa yang menyenangkan orang belum tentu sesuai dengan patokan-patokan umum soal integritas. Kalkulasi utilitarian memang mem- bahagiakan orang banyak, namun belum tentu berintegritas.
Kedua adalah kepemimpinan situasional. Bertolak belakang dengan jenis terdahulu, kepemimpinan jenis ini justru mengedepankan situasi dan bukan disposisi etis yang namanya integritas. Machiavelli berpendapat bahwa pemimpin harus bersiap mengubah keputusan sesuai dengan situasi yang berkembang. Pemimpin yang efektif berbeda dengan dia yang berintegritas. Dalam situasi darurat, seorang pemimpin dapat saja mengorbankan integritas demi keselamatan orang banyak. Kepemimpinan bukan sesuatu yang ajek, melainkan dinamis sesuai dengan situasi yang berkembang.
Ketiga adalah kepemimpinan transaksional. Filsuf Hobbes berpendapat bahwa hubungan antara pemimpin sebagai yang berdaulat dan rakyatnya adalah hubungan pertukaran. Rakyat menyerahkan segenap haknya, sementara pemimpin membalasnya dengan membangun stabilitas politik. Kepemimpinan transaksional melihat pemimpin lebih dari sekadar tempat penyimpanan integritas atau dia yang merespons situasi. Kepemimpinan transaksional memandang pemimpin sebagai dia yang mengikatkan diri secara kontraktual dengan rakyatnya. Apa yang dipertukarkan secara kontraktual tidak mesti bersifat ekonomi, namun bisa juga politis atau psikologis sifatnya. Misalnya, suara konstituen dipertukarkan dengan kepemimpinan yang menentramkan. Atau, sikap hormat rakyat dipertukarkan dengan keikhlasan seorang pemimpin untuk mendengar keluh kesah dan aspirasi.
Ketiga jenis kepemimpinan di atas tentu saja memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Apa pun jenis atau tipe kepemimpinan yang berlaku, kita tetap saja harus mengujinya di laboratorium sosial bernama Indonesia. Historisitas, kondisi faktual, kendala geografis, semuanya perlu dipertimbangkan sebelum kita memutuskan pemimpin seperti apa yang dibutuhkan.

Semoga Republik ini menemukan Pemimpin Yang Ber-PANCASILA ber-Bhineka Tunggal Ika dan ber-Garuda Pancasila...
Jayalah Negeriku

Indonesia 14 Mei 2013
Auditor FABI