Pages

Tuesday 14 May 2013

Saur-manuk, saling tembak, manuver hit and run…


Menjelang tahun pemilu 2014 tensi politik semakin meningkat dan suasana akan semakin panas. Berbagai gerakan dan aneka modus operasi untuk menjatuhkan lawan politik mulai terasa.  Saur-manuk, saling tembak, manuver hit and run…dan segala bentuk lainnya, sadar atau tidak sadar sesungguhnya sudah bergulir setiap harinya. Siapa yang memulai, tak jelas. Politik adalah panglima masih mewarnai irama perjalanan reformasi yang tak kunjung usai. Ketersediaan media dan tehnologi informasi yang semakin dapat diakses menjadikan suasana ini bias kita rekam, ikuti dan rasakan.

Banyak gerakan dilakukan dengan cara menghubungkan sejumlah politisi dengan kasus-kasus yang berbau korupsi. Fitnah dan pembunuhan karakter lebih banyak berperan dengan membentuk stigma buruk melalui kasus korupsi. Stigma jelek terlibat korupsi sama seperti stigma ”kontra-revolusi” di masa demokrasi terpimpin dan stigma ”terlibat PKI” di masa orde baru.

Yang serius dan menjalankan tugas kenegaraan dengan baik bisa saja dipancing dan terpancing untuk melakukan perlawanan, apalagi yang benar-benar menjalankan tugas kenegaraan demi kepentingan diri dan kelompoknya. Sangat mudah untuk bereaksi.
Kasus lama yang terbengkalai bisa dijadikan modal, apalagi kasus yang baru. Banyak contoh kasus yang bisa diinventarisasi. Sampai kapankah?
Pertanyaan yang tepat menurut hemat ‘FABI’  adalah “kepemimpinan macam apa yang dibutuhkan republik ini untuk menyelesaikan masalah secara akuntabel sekaligus menunaikan janji tanpa komplikasi etis, partai dan golongan?”

Kita memiliki banyak pemimpin, namun sedikit dari mereka yang memiliki kepemimpinan. Kepemimpinan bukan sekadar jargon atau ide yang enak diucapkan. Kepemimpinan memiliki konsekuensi praksis yang tidak sederhana. Apalagi ketika kita berbicara soal kepemimpinan politik. Kepemimpinan politik jauh lebih ruwet dari kepemimpinan di bidang lainnya. Kepemimpinan politik menuntut akuntabilitas yang lebih luas dan sublim sebab berhadapan dengan rakyat dengan beraneka kepentingan dan ideologi. Keputusan seorang pemimpin politik, tidak bisa disebandingkan dengan keputusan seorang pemimpin korporat untuk melakukan right sizing demi efisiensi. Keputusan pemimpin politik memiliki dimensi yang lebih tinggi ketimbang efisiensi yakni keadilan. Tidaklah cukup memiliki pemimpin yang dapat menghemat subsidi demi kesehatan anggaran negara. Kesehatan anggaran satu perkara, sementara akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi adalah perkara lain.
Meski mengandung janji dan harapan, segenap kesulitan yang dialami bangsa ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Buat apa APBN yang berlimpah jika korupsi membocorkannya di tengah jalan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi juga tidak membanggakan ketika kualitas hidup mereka yang tunasejahtera tidak mengalami perubahan. Apalagi ketika pertumbuhan tersebut tidak membuat utang luar negeri kita berkurang. Utang yang terus membubung bakal menabung risiko tersendiri bagi generasi penerus republik ini.

Janji dan keluhan yang dimiliki republik ini membutuhkan lebih dari sekadar pemimpin.
Sebagai bahan renungan, Terry Price, seorang profesor ilmu kepemimpinan, mendefinisikan tiga jenis kepemimpinan (Price, 2006, hlm. 65-85). Pertama adalah kepemimpinan yang berkeutamaan. INTEGRITAS adalah salah satu keutamaan kardinal yang perlu dimiliki pemimpin. Pemimpin harus memiliki integritas sebagai disposisi yang stabil dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Tanpa itu, pemimpin hanya akan diombang-ambingkan oleh situasi dan persepsi publik. Tanpa integritas, pemimpin bakal dikendalikan oleh lembaga survei yang merekam setiap jengkal pendapat publik terhadap keputusan yang (bakal) diambil. Pemimpin akhirnya hanya mengambil keputusan yang menyenangkan orang banyak. Padahal, apa yang menyenangkan orang belum tentu sesuai dengan patokan-patokan umum soal integritas. Kalkulasi utilitarian memang mem- bahagiakan orang banyak, namun belum tentu berintegritas.
Kedua adalah kepemimpinan situasional. Bertolak belakang dengan jenis terdahulu, kepemimpinan jenis ini justru mengedepankan situasi dan bukan disposisi etis yang namanya integritas. Machiavelli berpendapat bahwa pemimpin harus bersiap mengubah keputusan sesuai dengan situasi yang berkembang. Pemimpin yang efektif berbeda dengan dia yang berintegritas. Dalam situasi darurat, seorang pemimpin dapat saja mengorbankan integritas demi keselamatan orang banyak. Kepemimpinan bukan sesuatu yang ajek, melainkan dinamis sesuai dengan situasi yang berkembang.
Ketiga adalah kepemimpinan transaksional. Filsuf Hobbes berpendapat bahwa hubungan antara pemimpin sebagai yang berdaulat dan rakyatnya adalah hubungan pertukaran. Rakyat menyerahkan segenap haknya, sementara pemimpin membalasnya dengan membangun stabilitas politik. Kepemimpinan transaksional melihat pemimpin lebih dari sekadar tempat penyimpanan integritas atau dia yang merespons situasi. Kepemimpinan transaksional memandang pemimpin sebagai dia yang mengikatkan diri secara kontraktual dengan rakyatnya. Apa yang dipertukarkan secara kontraktual tidak mesti bersifat ekonomi, namun bisa juga politis atau psikologis sifatnya. Misalnya, suara konstituen dipertukarkan dengan kepemimpinan yang menentramkan. Atau, sikap hormat rakyat dipertukarkan dengan keikhlasan seorang pemimpin untuk mendengar keluh kesah dan aspirasi.
Ketiga jenis kepemimpinan di atas tentu saja memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Apa pun jenis atau tipe kepemimpinan yang berlaku, kita tetap saja harus mengujinya di laboratorium sosial bernama Indonesia. Historisitas, kondisi faktual, kendala geografis, semuanya perlu dipertimbangkan sebelum kita memutuskan pemimpin seperti apa yang dibutuhkan.

Semoga Republik ini menemukan Pemimpin Yang Ber-PANCASILA ber-Bhineka Tunggal Ika dan ber-Garuda Pancasila...
Jayalah Negeriku

Indonesia 14 Mei 2013
Auditor FABI

No comments:

Post a Comment