
Banyak gerakan dilakukan
dengan cara menghubungkan sejumlah politisi dengan kasus-kasus yang berbau
korupsi. Fitnah dan pembunuhan karakter lebih banyak berperan dengan membentuk
stigma buruk melalui kasus korupsi. Stigma jelek terlibat korupsi sama seperti
stigma ”kontra-revolusi” di masa demokrasi terpimpin dan stigma ”terlibat PKI”
di masa orde baru.
Yang serius dan menjalankan
tugas kenegaraan dengan baik bisa saja dipancing dan terpancing untuk melakukan
perlawanan, apalagi yang benar-benar menjalankan tugas kenegaraan demi
kepentingan diri dan kelompoknya. Sangat mudah untuk bereaksi.
Kasus lama yang
terbengkalai bisa dijadikan modal, apalagi kasus yang baru. Banyak contoh kasus
yang bisa diinventarisasi. Sampai kapankah?
Pertanyaan yang tepat
menurut hemat ‘FABI’ adalah
“kepemimpinan macam apa yang dibutuhkan republik ini untuk menyelesaikan
masalah secara akuntabel sekaligus menunaikan janji tanpa komplikasi etis,
partai dan golongan?”
Kita memiliki banyak
pemimpin, namun sedikit dari mereka yang memiliki kepemimpinan. Kepemimpinan
bukan sekadar jargon atau ide yang enak diucapkan. Kepemimpinan memiliki
konsekuensi praksis yang tidak sederhana. Apalagi ketika kita berbicara soal
kepemimpinan politik. Kepemimpinan politik jauh lebih ruwet dari kepemimpinan
di bidang lainnya. Kepemimpinan politik menuntut akuntabilitas yang lebih luas
dan sublim sebab berhadapan dengan rakyat dengan beraneka kepentingan dan
ideologi. Keputusan seorang pemimpin politik, tidak bisa disebandingkan dengan
keputusan seorang pemimpin korporat untuk melakukan right sizing demi
efisiensi. Keputusan pemimpin politik memiliki dimensi yang lebih tinggi
ketimbang efisiensi yakni keadilan. Tidaklah cukup memiliki pemimpin yang dapat
menghemat subsidi demi kesehatan anggaran negara. Kesehatan anggaran satu
perkara, sementara akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi adalah perkara
lain.
Meski mengandung janji dan
harapan, segenap kesulitan yang dialami bangsa ini tidak dapat dipandang
sebelah mata. Buat apa APBN yang berlimpah jika korupsi membocorkannya di
tengah jalan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi juga tidak membanggakan
ketika kualitas hidup mereka yang tunasejahtera tidak mengalami perubahan.
Apalagi ketika pertumbuhan tersebut tidak membuat utang luar negeri kita
berkurang. Utang yang terus membubung bakal menabung risiko tersendiri bagi
generasi penerus republik ini.
Janji dan keluhan yang
dimiliki republik ini membutuhkan lebih dari sekadar pemimpin.
Sebagai bahan renungan,
Terry Price, seorang profesor ilmu kepemimpinan, mendefinisikan tiga jenis
kepemimpinan (Price, 2006, hlm. 65-85). Pertama adalah kepemimpinan yang
berkeutamaan. INTEGRITAS adalah
salah satu keutamaan kardinal yang perlu dimiliki pemimpin. Pemimpin harus
memiliki integritas sebagai disposisi yang stabil dalam mengambil
keputusan-keputusan penting. Tanpa itu, pemimpin hanya akan diombang-ambingkan
oleh situasi dan persepsi publik. Tanpa integritas, pemimpin bakal dikendalikan
oleh lembaga survei yang merekam setiap jengkal pendapat publik terhadap
keputusan yang (bakal) diambil. Pemimpin akhirnya hanya mengambil keputusan
yang menyenangkan orang banyak. Padahal, apa yang menyenangkan orang belum
tentu sesuai dengan patokan-patokan umum soal integritas. Kalkulasi utilitarian
memang mem- bahagiakan orang banyak, namun belum tentu berintegritas.
Kedua adalah kepemimpinan
situasional. Bertolak belakang dengan jenis terdahulu, kepemimpinan jenis ini
justru mengedepankan situasi dan bukan disposisi etis yang namanya integritas.
Machiavelli berpendapat bahwa pemimpin harus bersiap mengubah keputusan sesuai
dengan situasi yang berkembang. Pemimpin yang efektif berbeda dengan dia yang
berintegritas. Dalam situasi darurat, seorang pemimpin dapat saja mengorbankan
integritas demi keselamatan orang banyak. Kepemimpinan bukan sesuatu yang ajek,
melainkan dinamis sesuai dengan situasi yang berkembang.
Ketiga adalah kepemimpinan
transaksional. Filsuf Hobbes berpendapat bahwa hubungan antara pemimpin sebagai
yang berdaulat dan rakyatnya adalah hubungan pertukaran. Rakyat menyerahkan
segenap haknya, sementara pemimpin membalasnya dengan membangun stabilitas
politik. Kepemimpinan transaksional melihat pemimpin lebih dari sekadar tempat
penyimpanan integritas atau dia yang merespons situasi. Kepemimpinan
transaksional memandang pemimpin sebagai dia yang mengikatkan diri secara
kontraktual dengan rakyatnya. Apa yang dipertukarkan secara kontraktual tidak
mesti bersifat ekonomi, namun bisa juga politis atau psikologis sifatnya.
Misalnya, suara konstituen dipertukarkan dengan kepemimpinan yang menentramkan.
Atau, sikap hormat rakyat dipertukarkan dengan keikhlasan seorang pemimpin
untuk mendengar keluh kesah dan aspirasi.
Ketiga jenis kepemimpinan
di atas tentu saja memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Apa pun
jenis atau tipe kepemimpinan yang berlaku, kita tetap saja harus mengujinya di
laboratorium sosial bernama Indonesia. Historisitas, kondisi faktual, kendala
geografis, semuanya perlu dipertimbangkan sebelum kita memutuskan pemimpin
seperti apa yang dibutuhkan.
Semoga Republik ini
menemukan Pemimpin Yang Ber-PANCASILA ber-Bhineka Tunggal Ika dan ber-Garuda
Pancasila...
Jayalah Negeriku
Indonesia 14 Mei 2013
Auditor FABI
No comments:
Post a Comment