Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara
merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan
Sakssen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale
staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh
Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang diutara dibatasi
pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan
Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi
nationale staat.

Nationale
staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri dijaman Sri
Wijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena
itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar
Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia
yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-
lain,tetapi k e b a n g s a a n I n d o n e s i a, yang bersama-sama
menjadi dasar satu nationale staat.
Maaf, Tuan Lim Koen Hian,
Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi
oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: „Saya tidak mau akan
kebangsaan".
Lim Koen Hian: Bukan begitu. Ada
sambungannya lagi.
Soekarno : Kalau begitu, maaf, dan
saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar
kebangsaan.
Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau
akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang
mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu
banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak
ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa
Arab, tetapi semuanya „menschheid",„peri kemanusiaan". Tetapi Dr. Sun
Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya
mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S.
diSurabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang
memberi pelajaran kepada saya, - katanya: jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa
kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan sedikitpun. Itu terjadi
pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang
memperingatkan saya, - ialah Dr SunYat Sen! Di dalam tulisannya „San Min Chu
I" atau „The Three People’s Principles", saya mendapat pelajaran yang membongkar
kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu
tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh „The Three People"s
Principles" itu.
Maka oleh karena itu,
jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai
penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan
perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat
Sen, - sampai masuk kelobang kubur.
(Anggauta-anggauta Tionghoa bertepuk tangan).
Saudara-saudara.
Tetapi ........ tetapi ........... memang prinsip kebangsaan ini ada
BAHAYANYA! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi
chauvinisme, sehingga berfaham „Indonesia uber Alles". Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu,
mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian
kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi
berkata: „Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah
perikemanusiaan „My nationalism is humanity".
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan
yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah,
yang mengatakan„Deutschland uber Alles", tidak ada yang setinggi Jermania,
yang katanya, bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru, „bangsa
Aria", yang dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain
tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan,
jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta
meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus
menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah
prinsip saya yang kedua. Inilah
filosofisch principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan
„internasionalisme".
Tetapi jikalau saya
katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang
tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada
Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan
lain-lainnya.
Internasionalisme tidak
dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.
Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman- sarinya
internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2,
yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan
erat satu sama lain.
Kemudian, apakah
dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar
perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk
satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya.
Tetapi kita mendirikan negara „semua buat semua", „satu buat semua, semua
buat satu". Saya yakin syarat terkuat untuk Indonesia adalah
permusyawaratan perwakilan.
Untuk
pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun,
adalah orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum
sempurna, -- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan
melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati
Islam.
Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam
permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga
keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam
Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa
yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan
perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam.
Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa
perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan
Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam.Jikalau memang rakyat
Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam
disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita
pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan
sebanyak mungkin utusan- utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya
badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja
sekeras-kerasnya, agar supaya 60,70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan
rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang
keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin,
jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan
bahwa agama Islam benar-benar h i d u p di dalam jiwa rakyat,
sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau
demikian, Hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas
bibirsaja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah
didalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam?
Maaf seribu
maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam
kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian,
baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3
ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.
Dalam perwakilan nanti
ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul
hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih
kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam
staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada. Terimalah
prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat!
Di
dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen
bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa
tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut
Injil, bekerjalah mati- matian, agar suapaya sebagian besar dari pada
utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu
adil, - fair play!. Tidak ada satu negara
boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya.
Jangan
kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada
pergeseran pikiran.
Allah subhanahuwa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar
supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk
membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi
nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3,
yaitu prinsip permusyawaratan.
Prinsip No. 4 sekarang saya usulkan,
Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip Kesejahteraan , prinsip ketidak akan ada kemiskinan
di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I
ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, sosialism.
Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya
merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan,
cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang
cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara- saudara?
Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan
sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negra-negara
Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah
di Eropah justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum
kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis
merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya,
ialah oleh karena badan- badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu,
sekedar menurut resepnya Franche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu
hanyalah politik demokrasi saja; semata-mata tidak ada sociale
rechtvaardigheid, -- tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomi demokrasi
sama sekali.
Saudara-saudara, saya
ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan
politieke democratie. „Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di
dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak p o l i
t i e k yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk
di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan
kesejahteraan di kalangan rakyat?" Maka oleh karena itu Jean Jaures
berkata lagi: „Wakil kaum buruh yang mempunyai hak p o l i t
i e k itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister.
Ia
seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik,
- sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan
raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa".
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki? Saudara-saudara, saya
usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi
permusyawaratan yang memberi hidup, yakni p o l i ti e k - e c o m i s c
h e democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat
Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan
Ratu Adil? Yang dimakksud
dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera.
Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan Ratu
Adil.
Maka oleh karena itu, jikalau
kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah
kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja
persamaan p o l i t i e k, saudara-saudara, tetapi pun di atas
lapangan e k o n o m i kita harus mengadakan persamaan, artinya
kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara,
badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan
permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan
yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan
dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama,saudara-saudara, di dalam badan
permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal!
Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih
monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie „vooronderstelt
erfelijkheid", - turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya meng-hendaki
mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah
agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul
mu’minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala
negara, kita pilih.
Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara
Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan
sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh
karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.
Saudara-saudara,
apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan.
3. Mufakat, - atau demukrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima
hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha
Esa.
Prinsip K e t u h a n a n ! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen
menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut
petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut
kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya
negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan,
yakni dengan tiada „egoisme-agama".
Dan hendaknya N e g
a r a Indonesia satu N e g a r
a yang bertuhan! Marilah
kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang be r
k e a d a b a n . Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati
satu sama lain. (Tepuk tangan sebagian hadlirin).
Nabi
Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid,
tentang menghormati agama- agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan
verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini,
sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah
Ketuhanan yang Berkebudayaan , Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur,
Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya,
jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap
agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang
sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula! Ingatlah, prinsip ketiga,
permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan idee kita
masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! „Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima
bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini.
Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan d a s a r. Saya senang
kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita
lima setangan. Kita mempunyai Panca Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya?
Seorang yang hadir: Pendawa lima.
Soekarno: Pendawapun lima orangnya.
Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat,
kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma,
tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa
namanya ialah PANCASILA. Sila artinya azas atau d a s a r, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan
abadi.