Pages

Monday 4 March 2013

POLITIK ITU LENTUR atau MEMBLE ?

Oleh: Tjahjo Kumolo
http://www.tjahjokumolo.com/2012/12/kelenturan-politik/
Politik itu lentur. Kalau para ahli bilang, politik berbicara soal seni kemungkinan, artinya apapun mungkin terjadi, itu tidak salah. Tapi di balik kemungkinan itu, tentu saja ada yang pasti. Politik tidak bisa tanpa kepastian. Bagaimanapun, politik berbicara soal hidup manusia. Soal hidup banyak orang. Dan itulah kepastian dalam politik. Tanpa mempedulikan kepentingan umum, politik tidak bisa dikatakan demokratis.

Kita sudah cukup lama mengonsumsi berita soal kasus Hambalang. Sekarang ada kejutan seperti yang dijanjikan Abraham Samad, ketua KPK, belum lama ini. Anda Mallarangeng mundur dari jabatannya sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, yang menurut beberapa orang dekatnya yang dikutip media massa, terkait perkembangan kasusnya di KPK.

Tulisan ini bukanlah kajian hukum sehingga kita tidak menyoroti kasus hukumnya. Kita fokus pada sikap politik Mallarangeng. Kawan-kawan politisi sudah mengeluarkan pujian atas keberanian anak muda Makassar itu untuk mundur dari jabatan. Kita perlu menambahkan pujian itu di sini. Sikap Andi tidak banyak kita temukan dalam pengalaman berpolitik. Di negara maju tentu saja itu bukan hal yang luar biasa lagi. Sudah hal yang lazim, seorang tokoh politik melepaskan jabatannya karena alasan yang serius dan mendapatkan pujian juga dari masyarakat. Pengalaman dunia yang besar antara lain Presiden Amerika Serikat Richard Nixon yang mengundurkan diri setelah kasus Watergate terungkap di tahun 1969.

Contoh ini sudahlah tentu bukan untuk menyamakan Andi Mallarangeng dengan Presiden Nixon. Politisi dari Partai Republik ini menjadi sejarah setelah ia memaparkan alasan moral yang sangat kuat di balik kemundurannya. Secara singkatnya, dia tidak ingin kasus hukum Watergate dibebankan pada orang lain, dia ingin bertanggungjawab secara satria.

Andi Mallarangeng belum memberikan penjelasan resmi kepada publik alasan dan tujuan dari pengundurannya
Apakah ada kaitan yang mendasar sekali dengan kasus hukum yang dihadapinya atau ini hanyalah taktik politik untuk menyelamatkan reputasi. Andi adalah politisi. Langkahnya perlu dibaca dari sudut pandang politik. Itu yang perlu kita perhatikan di balik semarak pemberitaan soal kemundurannya.

Ibarat karet, politik juga lentur. Bisa ditarik ke kiri dan ke kanan. Andi memperlihatkan kelenturan itu.
Sudah lama para pengamat mendesak Andi mundur atau mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberhentikan Andi dari jabatannya di kabinet. Kritik itu datang dari mereka yang ingin transparansi dalam proses hukum kasus yang dihadapinya. Kenapa baru sekarang ini Andi berani mengambil sikap untuk mundur?

Kalau Anda sepakat, bahwa diskusi politik adalah diskusi kepentingan, maka mari kita mengubah lagi pertanyaan ini biar lebih masuk akal: untuk kepentingan siapa Andi berani mengundurkan diri? Pertama sekali tentu saja untuk kepentingan pribadi, demi kenyamanan pribadi, dalam menghadapi keseriusan kondisi hukum dan politik yang dia hadapi. Tapi juga bukan hal yang susah dimengerti kalau Andi mengundurkan diri juga bagian dari hitungan politik sekelompok orang politik. Dan memang begitulah politik bekerja dalam realitas yang sesungguhnya.

Harapan kita, atas nama kepentingan rakyat, pengunduran Andi benar-benar sebuah pelajaran politik yang baik, tentang bagaimana etika politik berfungsi dalam memangku kekuasaan. Tidak boleh ada nuansa permainan politik yang begitu kental karena kalau itu terjadi, pengunduran diri itu tidak lagi menjadi teladan dalam berpolitik secara etis. Ia hanya dilihat kemudian sebagai bagian dari taktik.
Kondisi kita sudah terlalu rumit. Politik sudah di tapal akhir kecarut-marutan, perlu ada langkah penyelamatan.
Etika politik selalu menjadi seruan para moralis politik untuk menghidupkan lagi demokrasi yang sudah kolaps dan menguatkan lagi harapan kita tentang sebuah negara-bangsa yang demokratis seperti dicita-citakan pada pendiri bangsa seperti Bung Karno.

“Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita.”
Itulah penggalan pidato Presiden Soekarno ketika Beliau menegaskan dengan semangat penuh bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa tempe, bangsa yang cengeng, mudah resah, mudah menyerah, dan berwatak lembek seperti tempe.

Berpolitik dengan etika adalah salah satu syarat untuk tidak menjadi bangsa tempe. Kita harus kuat di dalam jiwa dan kuat secara fisik—berdiri sebagai bangsa besar yang demokrasinya hidup atas dasar ideologi yang juga kuat dan politiknya bekerja dalam koridor etika.

Politik memang lentur. Kepentingan apapun bisa bertabrakan dalam satu peristiwa. Kemunduran Andi bisa berlatarkan banyak kepentingan, namun mudah-mudahan keberanian Andi Mallarangeng melepaskan posisi politiknya didasari oleh kesadaran etika politik,bukan oleh kepentingan kekuasaan yang susah dimengerti oleh rakyat. ***

No comments:

Post a Comment