Pages

Wednesday 6 March 2013

MARAK perdagangan GADIS dibawah umur di Makassar

"Saya tidak tahu pak, dia janji kami pekerjaan sebagai penjaga toko. Ternyata, mau dijual untuk dijadikan pelacur di NTT," ujarnya tertunduk.

RA (15) dan rekannya RI (16) adalah dua dari tujuh korban perdagangan perempuan di bawah umur yang berhasil diselamatkan, dalam dua pekan terakhir. RA dan RI diamankan warga di Jalan Ratulangi, Makassar, saat berusaha melompat dari angkutan kota.

Kedua remaja asal Kendari, Sulawesi Tenggara ini rencananya akan dijual ke sebuah rumah pelacuran di NTT. RA dan RI adalah korban terakhir dalam dua pekan ini.

Sebelumnya, Polda Sulsel juga menggagalkan upaya perdagangan perempuan oleh sebuah sindikat di dua hotel di Makassar. Dari dua kasus yang berselang sepekan ini diamankan lima korban gadis berusia di bawah 16 tahun.

Mereka berasal dari sejumlah daerah di Sulsel dan Jawa. Berdasarkan hasil penyelidikan kepolisian, para korban akan dilempar ke sejumlah rumah pelacuran di Indonesia Timur dengan harga antara Rp 11 juta hingga Rp 15 juta.

Polisi juga tengah menyelidiki adanya kemungkinan keterlibatan para pengusaha industri hiburan malam di Makassar dalam sindikat ini. Pasalnya, di beberapa tempat hiburan, pub, panti pijat dan rumah prostitusi berkedok salon kecantikan, ditemukan pekerja di bawah umur tanpa identitas.
Mereka dominan berasal dari luar Makassar dan Jawa. 

Dinas Sosial Kota Makassar melaporkan, sekitar 140 orang pekerja seks bekerja secara "legal". Mereka dinaungi oleh sebuah industri hiburan dengan beragam label. Diantaranya panti pijat, salon, karaoke maupun klub malam.

Namun seperti biasa, industri seks adalah sebuah fenomena gunung es. Jumlah yang beroperasi secara liar jauh melebihi jumlah yang terdata.
"Barangkali lebih dari dua kali lipat jumlahnya yang tidak terdata," jelas Kepala Dinas Sosial Makassar Burhanuddin.

Belakangan ditemukan fakta baru bahwa ada kecenderungan semakin banyaknya pekerja seks di bawah umur. Mereka rata-rata tidak bernaung di bawah label sebuah industri hiburan malam, melainkan bekerja secara liar.

"Tetapi dikendalikan oleh kelompok mucikari. Nilai transaksi mereka jauh lebih tinggi dari pekerja seks yang ada di tempat-tempat hiburan malam," kata Rasman Abdi, aktivis anak dan perempuan.

Ia mengatakan, fenomena ini berkembang sejak lima tahun silam. Jumlah yang berhasil didata pihaknya dalam rentang waktu tiga tahun mencapai 76 pekerja seks berusia di bawah 17 tahun.

Menurut Rasman, dari jumlah ini, 60 persen berasal dari luar Sulsel seperti Surabaya, Bandung dan sebagian dari Manado. Sementara 40 persen adalah pekerja seks lokal dengan identitas beragam.

"Ada dari kalangan pelajar SMA dan mahasiswa. Bahkan dari data terakhir kami didapatkan anak berusia 14 tahun yang baru duduk di bangku kelas dua SMP," katanya.

Rasman tidak heran dengan maraknya perdagangan perempuan di bawah umur. Menurutnya, sebenarnya ini sindikat lama, tetapi operasi mereka baru tampak sangat terbuka belakangan ini.

Nilai transaksi dari perdagangan perempuan di Makassar menurut Rasman terbilang tinggi di banding kota-kota lain di luar Jawa. Malah, sekarang Makassar masuk dalam empat besar kota industri seks yang paling berkembang di Tanah Air.

"Yang tertinggi itukan Jakarta, lalu Surabaya dan Bandung. Makassar hampir sama dengan Bali dan Papua," paparnya.

Nilai transaksinya sudah menyentuh angka miliaran rupiah per bulan.
Pekerja seks yang dikendalikan oleh mucikari menurut Rasman memang sulit dikenali. Mereka beraktivitas seperti layaknya perempuan biasa.

Tetapi jika aparat jeli, sebenarnya sangat mudah dibongkar. Ada beberapa kelompok mucikari di Makassar yang menjadi agensi dari anak-anak remaja ini.
"Mereka biasanya ditawarkan kepada pengusaha-pengusaha atau pendatang dan pejabat dari daerah.

Transaksi mereka sangat terselubung. Mucikari yang punya peran vital sebagai penghubung," katanya.
Mucikari pekerja seks di bawah umur itu, biasanya beroperasi di tempat-tempat kelas menengah ke atas, seperti di hotel-hotel berbintang. "Kalau mau dapat datang saja ke klub malam di hotel berbintang. Di situ setiap malam mucikari ada. Gerak-geriknya gampang dikenali," kata Rasman.

Mucikari ini membawa foto-foto anak agensi mereka. "Kalau deal tinggal transaksi sama PSK-nya," tambahnya.

Mereka punya tarif lumayan tinggi. "Yang terendah itu Rp 750 ribu. Bahkan ada yang sampai Rp 2,5 juta," katanya.

Beda dengan PSK anak yang dijual, itu lebih tinggi lagi karena sistemnya dibeli. "Kalau dibeli oleh rumah-rumah pelacuran, bisa sampai Rp 15 juta. Tapi tergantung juga orangnya. Kalau cantik dan molek ya mahal juga," papar Rasman.

Untuk transaksi orang per orang, setiap malam seluruh pekerja seks anak yang jumlahnya mencapai 70-an itu, beroperasi antara dua sampai tiga kali sehari. "Nilai transaksi keseluruhannya itu bisa mencapai Rp 210 juta semalam, dengan asumsi setiap pekerja seks menghasilan Rp 3 juta sehari dari tiga kali transaksi," paparnya.

Dugaan adanya pekerja seks anak yang dijual rumah-rumah pelacuran berkedok panti pijat dan tempat hiburan malam, kata Rasman, bukan cerita bohong. Ia mengatakan, sejak 2009 ditemukan lebih dari 30 persen pekerja seks yang dinaungi label industri hiburan malam, berusia belasan.
Tetapi kebanyakan diantara mereka tidak memiliki identitas diri, sehingga sangat sulit dilakukan pemilahan pekerja seks anak.

"Karena kontrol dari instansi terkait seperti dinas sosial dan disnaker sangat lemah. Pekerja di industri hiburan itu tak diteliti secara berkala identitas ketenakerjaannya," papar dia.

Akibatnya, banyak diantaranya yang datang dan pergi begitu saja tanpa pernah diidentifikasi.
R, salah seorang pekerja di industri hiburan malam mengatakan, dewasa ini para pelanggan tempat hiburan malam, lebih condong memilih pekerja seks anak. Kecenderungan ini yang ditangkap oleh pengusaha hiburan, sehingga mereka berani mendatangkan pramuria-pramuria berusia belasan.

"Mereka berani bayar sampai belasan juta. Apalagi kalau barang baru dari Jawa, itu paling digemari," kata R.

R mengakui, perkembangan industri seks anak di bawah umur di Makassar, berkembang luar biasa. "Dulu tahun-tahun 90-an rata-rata berusia 30-an, sekarang pelanggan carinya yang umur belasan. Jadi mau apa lagi, pengusaha pasti cari sesuai selera pengunjung kan," ucapnya

No comments:

Post a Comment